Translate

Jumat, 25 Januari 2013

Novel season 3


  Frieska menatap kakaknya. Melody membuang wajahnya dan terus makan.
Tidak biasanya kakaknya itu bersikap jutek padanya. Frieska pun
akhirnya menyadari kesalahannya itu. Frieska memang tidak sengaja
tertidur saat itu. Dipandanginya tubuh kakaknya itu.


Dalam
hati berkata. ''Penampilanya begitu berantakan, sudah terlihat jelas
tubuhnya kelelahan tapi aku masih bisa mengeluh padanya. Maaf...''


Frieska
menghampiri Melody yang sedang makan. Tiba tiba Frieska memeluknya
dengan erat. Mungkin dengan begitu ngambeknya akan berkurang padanya.

   ''Kakakku ini tenyata ambekan sekali, ya.'' ejek Frieska.
   ''Kamu ini kenapa? Siapa yang ngambek?'' ngeles Melo.
   ''Ah, ngaku saja. Iya, kan? Aku benar, kan? Sudah terlihat jelas gini masih gak mau ngaku.'' tawa Frieska.
   ''Dasar, sudah makan dulu sana dan langsung tidur. Jangan sampai kesiangan lagi besok.''
Frieska menggangguk. ''Iya kakakku.''

 ***

   Keesokan paginya ditengah kota.

Penuh
dengan kerumunan orang orang yang sedang berbelanja. Toko toko
berjejeran rapih. Diantara toko toko mewah terseliplah sebuah restoran
bubur sederhana yang saat itu masih tutup.


Jika kita
amati kedalam restoran, maka yang terlintas di pikiran kita adalah
keluarga bahagia nan ceria. Jessica Vania atau sebut saja Jeje, wanita
yang baru duduk di kelas satu SMA ini sedang menikmati sarapan paginya
bersama kedua orang tuanya dan juga adiknya. Di meja makan penuh dengan
makanan makanan mewah. seperti sedang ada pesta saat itu. Tentu suasana
seperti ini jarang sekali dialami oleh keluarga Jeje. Bagaimana bisa
suasana itu tercipta? Tentu keluarga sederhana seperti mereka tidak
akan memboroskan keuangannya begitu saja dengan membeli makanan makanan
mahal. Kedua orang tuanya yang baru saja pulang mengunjungi neneknya
lah yang membawakan rezeki seperti itu.

Semuanya mengunyah dengan sangat lahap, terutama Jeje. Tiba tiba Ayahnya menambahkan makanan ketempat piring Jeje.

   ''Makanlah yang banyak. Cobalah yang satu ini.'' Ucap Ayah.
   ''Ayah, yang ini saja belum habis sudah ditambah lagi.''
   ''Coba saja dulu makanan itu. Kapan lagi kamu bisa mencobanya. Kesempatan jarang sekali terjadi.''

Dengan wajah polos Jeje berkomentar. ''Ini mie rebus atau mie goreng?''
   ''Kakak, itu kan spageti.'' potong adiknya.
   ''Spageti? Seperti mie.'' Jeje meneruskan.


Seumur
hidup Jeje, Jeje tidak pernah mencoba yang namanya mencicipi masakan
luar. Tapi, rasanya memang keterlaluan kalau sampai tidak mengenal
sedikitpun tentang makanan itu. Bila seseorang mengenal Jeje sangat
lama, pasti orang itu akan berkata. 'Wajar kalau dia tidak
mengetahuinya, saat dipagi hari ia sekolah hingga siang, dan setelah
itu dia bekerja seharian menjaga restoran bubur Ayahnya. Yang namanya
bergaul tidak pernah Jeje lakukan'.

Jeje memang bisa dibilang
anak yang sangat penurut dengan orang tuanya. Orang tuanya memang bisa
dibilang sukses mendidik Jeje hingga sekarang. Sampai sampai yang
namanya berlibur bersama teman temanya pun jarang sekali Jeje lakukan.
Yang Jeje lakukan hanya membantu kedua orang tuanya.

   ''Jeje, bagaimana bisa kamu kalah sama adikmu yang masih sangat kecil itu.'' Ejek Ayah sambil tertawa.

Jeje
menengok ke arah adiknya. ''Hei, bagaimana kamu bisa tau? Hidupmu itu
baru delapan tahun, sedangkan aku lima belas tahun saja gak tau.''
   ''Aku kan pernah mencobanya dirumah temanku.'' jawab adiknya.


 ''Sudah, sudah. Makan saja apa yang ada dimeja sekarang. Tidak penting
juga seseorang harus mengetahui masakan nya.'' Seru Ibu.

Kemudian Jeje mencoba spageti tersebut lalu memuntahkannya.
   ''Ini gak enak. Perutku langsung mual memakan ini.''
Ayah sedikit tertawa. ''Mungkin kamu itu belum terbiasa. Sudah paksakan saja.''

Jeje
mencobanya kembali. Memuntahkannya lagi. Tidak enak rasanya. Kemudian
Jeje memandang adik dan Ayahnya yang memakan spageti itu dengan sangat
lahap. Jeje semakin penasaran kenapa spageti itu begitu lezat dimata
mereka. Jeje mencoba mencicipinya lagi, dan lagi lagi memuntahkannya.

   ''Aku gak suka. Lebih baik aku makan ayam goreng saja.''
Mendengar ucapan Jeje itu membuat Ayah dan adiknya memandang spageti Milik Jeje dengan tatapan memangsa.

   ''Kalau begitu untuk ayah saja.''
   ''Aku juga mau.'' sela adiknya.
   ''oh, ternyata anakku ini suka sekali, ya? Iya, ayo kita makan bersama sama.''
   ''Kenapa makanan ini menjadi sangat populer disini.'' Protes Jeje.



 Diluar restoran, sudah terparkir sebuah mobil sedan mewah berwarna
merah mencolok milik seorang wanita remaja bernama Cleopatra. Umurnya
kira kira masih tujuh belas tahunan dan baru saja lulus dari SMA.
Wanita yang bisa dibilang kaya raya ini tidak sendirian. Cleo ditemani
dua orang temanya, Sonya dan juga Shania. Mereka bertiga merupakan
teman satu komplek perumahan yang sama. Cleo memang berbeda umur dengan
Sonya, Jeje dan juga Shania. Mereka bertiga masih duduk dikelas satu
SMA sedangkan Cleo baru saja lulus. Sekilas memang kita bertanya tanya,
untuk apa mereka bertiga berkunjung ke kediaman Jeje pagi pagi sekali.
Apalagi Sonya dan Shania, Apakah mereka berdua tidak sekolah?

Mereka bertiga berkumpul didepan restoran. Cleo memandang heran restoran.
   ''Apa benar ini rumah Jeje? Jadi, orang tua mereka membuka restoran, ya?''

Sonya
menggangguk. Sonya tahu betul bahwa itu adalah kediaman Jeje. Sebagai
teman satu kelas, Sonya dan Shania pernah diajak Jeje untuk mampir
mencoba bubur buatan orang tuanya itu. Sedangkan Cleo baru saja
mengenal Jeje, itu juga karena Sonya mengenalkan Jeje padanya karena
Jeje mempunyai bakat menari.

   ''Rasa bubur disini sangat enak. Aku pernah diajak Jeje kemari bersama Shania. Iya kan, Shania?'' Tambah Sonya.
Shania hanya menggangguk. Setelah mendengar ucapan Sonya, Cleo memandang Sonya serius campur jengkel.
   ''Apa kita kemari hanya ingin mencoba buburnya?''
Sonya cengar cengir. ''Kalau kakak gak keberatan aku mau saja.''
   ''Jangan main main!'' bentak Cleo pada Sonya.
   ''Aku sedang serius. Sudah berkali kali temanmu ini gak hadir dalam latihan.'' Kesal Cleo.


Sonya
menunduk takut. Sebagai yang tertua dan juga bisa dibilang pemimpin,
mau gak mau Sonya serta Shania harus patuh terhadapnya jika ingin
rencananya baik baik saja.
Kemudian Cleo berjalan masuk kedalam restoran untuk bertemu dengan Jeje.


Sonya
jengkel sambil memandang Cleo dari kejauhan. ''Dia galak sekali. Apa
aku sanggup bersamanya. Bisa bisa penyakit jantung bisa tumbuh di tubuh
ku ini.''
Sonya memandang heran Shania. Sikapnya hari ini begitu pendiam. Tidak seperti biasanya. Wajahnya juga murung.

Didalam restoran. Cleo memanggil manggil nama Jeje. Tidak lama kemudian Jeje muncul dengan wajah terkejut.
   ''Kakak, Cleo.''
   ''Ternyata benar ini rumahmu. Aku hanya ingin memastikan, apakah hari ini kamu bisa ikut latihan?'' tegas Cleo.

Jeje
menunduk lesu. Lagi lagi Jeje tidak sanggup memenuhi permintaan Cleo.
Karena saat itu Jeje harus bersekolah. Jeje tidak mau kalau dirinya
sampai tidak datang ke sekolah cuma gara gara latihan menari walau
sehari pun. Lagipula, jika orang tuanya mendengar juga pasti tidak akan
diperbolehkan.

Cleo sudah menduganya. ''Jadi, hari ini juga kamu gak bisa?''

Jeje
menggangguk. Dalam hati merasa bersalah dan tidak enak hati. Walau
jengkel dan kesal, Cleo tetap tidak ingin menampakkan isi hatinya saat
itu.


   ''Kalau bukan karena Sonya dan Shania, aku gak
akan melakukan sampai sejauh ini. Teman teman mu sudah sangat
mendukungmu. Sampai sampai mereka berdua rela meminta izin tidak masuk
sekolah karena latihan. Tapi, ini sudah yang ketiga kalinya. Apa kamu
gak kasihan dengan temanmu itu?'' ucap Cleo santai.

   ''Aku gak
mengharapkan itu. Aku sudah pernah bilang bahwa aku gak tertarik dengan
audisi itu. Jadi, itu bukan sepenuhnya salahku. Sekali lagi sampaikan
maafku pada Sonya dan Shania.'' bela Jeje.


Cleo hanya
terdiam. Tidak berkata apa apa. Wajahnya terpancar rasa kekecewaan.
Cleo segera mengakhiri percakapan mereka dan berjalan keluar restoran.
Kemudian Cleo menghampiri Sonya dan Shania didepan. Begitu melihat Cleo
yang muncul tanpa Jeje, membuat Shania merasa sangat kecewa berat,
sangat kesal dan wajahnya menjadi murung.
''Mana Jeje? Jangan bilang kalau dia gak ikut lagi?'' tanya Sonya.
Cleo hanya bisa menggangguk pasrah.
   ''Kita tunda lagi latihanya sampai kita dapat pengganti yang benar benar bertanggung jawab.'' sindir Cleo.
Shania kesal. '' apa? Masa ditunda lagi. Emangnya kita gak bisa latihan hanya bertiga saja?'' protes Shania.


 ''Bisa berempat saja seharusnya kita bersyukur. Pelatih kita gak mau
membuang buang energi hanya untuk mengajarkan tiga orang murid saja.
Minimal dia bilang harus sepuluh orang. Tapi setelah ku bujuk bujuk dan
akhirnya mentok di angka empat saja.'' jawab Cleo.

   ''Kalau
begitu solusi untuk situasi kayak gini kita harus cari orang untuk
menggantikan posisi Jeje. benar, kan?'' ucap Sonya.
Mendengar solusi Sonya tersebut membuat Shania tambah kesal. Shania menentang keras solusi Sonya tersebut.


Shania
merupakan sahabat yang sangat dekat dengan Jeje. Shania tahu betul apa
yang dipikirkan oleh Jeje. Saat mereka bersama dikelas saat sedang
waktunya istirahat, mereka selalu bersama sama, menceritakan impian dan
cita cita satu sama lain. Shania mengingat semua itu.


Shania
menggelengkan kepalanya. ''Aku gak setuju. Aku masih menginginkan Jeje
ada di kelompok kita. Aku gak mau ada orang lain yang menggantikan
dia.''

   ''Berarti sudah jelas, kan? Gak ada Jeje, latihan pun
terpaksa kita tunda. Dan ada satu hal penting lagi yang ingin aku
ucapkan sama kamu, kalau kamu gak berhasil membawa Jeje besok, terpaksa
akan aku cari penggantinya.'' Tegas Cleo pada Shania.

Suasana menjadi sangat serius. Perbedaan pendapat diantara mereka membuat suasana semakin kacau, tidak terkendali.


 ''Lagipula, hari ini adalah hari yang ketiga kalian izin dari sekolah.
Mau beralasan apalagi? Aku rasa orang tua kalian juga gak akan setuju
jika kalian meminta izin lagi. Pikirkan itu baik baik. Bukannya aku gak
mau membela Jeje, tapi situasilah yang telah merubah keputusanku.''
Cleo memperjelas.


Shania menjadi serba salah. Dikepalkan
kedua tangannya itu. Wajahnya tampak murung. Kemudian Shania berjalan
menuju mobil Cleo, menutup pintu mobil dengan keras.


Sonya
memandang kasihan pada Shania. ''Aku jadi kasihan. Padahal dia yang
paling bersemangat di kelompok ini. Bahkan dia menulis surat izin
sendiri untuk sekolahnya.''

   ''Aku juga tau. Tapi mau bagaimana
lagi. Ayo kita kembali dulu ke base. Disana kita akan cari solusi dan
memikirkan matang matang tentang kedepannya.''
   ''Siap ketua!'' teriak Sonya.
   ''Ah kamu, gak usah pake teriak juga kali. Kupingku sakit mendengarnya.''
Sonya sedikit tertawa. ''Hehe, maaf, kak.''

***



 Jam sudah menunjukkan pukul tujuh tepat. Dikamar, Melody masih saja
tertidur lelap. Setelah kemarin seharian beraktifitas membuatnya cukup
lelah. Padahal, kan masuk sekolahnya adalah pukul tujuh lewat dua puluh
menit. Walaupun terbangun saat ini juga percuma saja. Melody tetap akan
terlambat.

Hari ini aku harus ke sekolah.
Kegiatan hari ini pasti banyak sekali.
Sekarang jam berapa?
Biarlah, terlambat beberapa menit juga tidak apa apa.

Melody mengigau.
Kemudian terdengar suara panggilan dari kejauhan.

Siapa itu?
Kenapa dia menyebut nama ku terus?
Apa aku sudah berbuat salah?

   ''Kakak! Kakak!
Ayo bangun! Sudah jam tujuh.'' teriak Frieska.


Melody
membukakan kedua matanya. Yang dipandangnya pertama kali adalah wajah
Frieska yang tepat berada dihadapan. Melody memandang Frieska yang
sudah berpakaian seragam SMA rapih, cantik, wangi dan bersih. Frieska
baru saja duduk dikelas satu SMA. Walau mereka sama sama SMA, tetapi
sekolah mereka berbeda. Melihat penampilan Frieska yang serba rapih,
Melody segera bangkit dari tempat tidurnya. Ekspresinya seperti pada
saat akan dibagikan surat kelulusan. Sangat panik. Melody menoleh ke
arah ventilasi jendela kamarnya. Sinar matahari begitu terik masuk
menerangi kamarnya.
Melody mengambil ponsel yang tergeletak di kasurnya. ''Jam berapa sekarang?'' panik Melody.
   ''Kakak sendiri yang bilang padaku gak boleh telat. Tapi...'' ledek Frieska.

Rasa
panik Melody semakin menjadi jadi setelah melihat jam di ponselnya.
Mendengar ejekan adiknya, Melo langsung menatap dekat Frieska. ''Umur
yang lebih tua pantas memberi nasehat atau arahan pada yang lebih
muda.'' balas Melody.


Melody berlari menuju kamar mandi.
Frieska keheranan, apakah kakaknya jengkel dengan ledekannya itu atau
kakaknya balik meledek padanya? Karena yang dilihat saat itu hanya
ekspresi panik saja.

   ''Lebih tepatnya yang tua itu pasti lebih berkuasa dan menyuruh ini itu seenaknya.'' Jengkel Frieska dengan nada keras.
Melody yang masih tidak jauh dari kamarnya mendengar ucapan Frieska.
   ''Aku dengar itu. Sebaiknya jangan membicarakanku dibelakang.'' sindir Melo sambil berteriak.

Frieska
yang mendengar tentu menjadi panik. Takut takut jika sampai Melo marah,
Frieska tidak dapat meminjam peralatan kosmetiknya.


Lima
belas menit kemudian. Tubuh sudah menjadi segar dan wangi setelah
mandi. Pakaian seragam sudah terpasang di tubuhnya. Melody mempercantik
dirinya di cermin kamarnya. Mengikat rambutnya, memakai bedak dan juga
minyak wangi. Semua dilakukan dengan terburu buru. Setelah puas merias
diri, Melo berlari ke ruang makan untuk pamitan dengan orang tuanya.
Melody menghampiri Ibunya yang sedang sarapan.
   ''Bu, aku berangkat dulu. Aku udah telat ke sekolah, nih''
   ''Sarapan dulu, nanti disekolah kamu bisa kelaparan. Bagaimana pelajaran bisa diserap kalau kamu lapar.''


Mendengar
kata sarapan, Melo segera menoleh ke arah meja makan. Terdapat begitu
banyak makanan menumpuk dimeja. Melo binggung darimana semua makanan
lezat itu datang. Rasanya tidak mungkin kalau ibu yang membuat semuanya.

   ''Banyak sekali makanannya. Darimana, Bu?'' kagum Melody.


 ''Tetangga kita ada yang sedang merayakan pernikahan anaknya. Kemarin
Ibu membantu menyiapkan hidangannya. Alhamdullilah, masih ada lebihnya
dan diberikan pada Ibu.''


Saat itu Melo memang sangat
lapar dan ingin sekali menyantap makanannya. Tapi karena waktu yang
tidak memadai dan juga rasa cemas membuatnya terpaksa mengalah untuk
tidak sarapan. Takut takut tidak akan bisa masuk ke dalam sekolah.

   ''Bu, aku berangkat dulu saja. Nanti sepulang sekolah pasti akan aku habiskan semuanya.'' gurau Melo.
   ''Kamu ini, sarapan dulu baru berangkat. Nanti Ibu akan kasih uang ongkos bakal naik ojek agar kamu gak terlambat.''


 ''Gak usah, bu. Aku masih ada sisa uang kemarin, kok. Aku gak apa apa.
Kalau aku telat aku gak bisa masuk. Aku berangkat dulu ya, Bu.''
Melo segera berpamitan dengan Ibunya.

 ***

Diruang
santai sebuah gedung talent menjelang siang. Gedung talent merupakan
sebuah sekolah vocal serta dance bagi pemula yang ingin belajar.
Bangunan gedungnya cukup besar, indah serta mewah. Hanya orang orang
yang berpendapatan tinggi saja yang ada didalamya. Tentu bagi Sonya dan
juga Shania tidak akan bisa masuk begitu saja di gedung itu. Karena
keluarga mereka hanyalah keluarga yang biasa biasa saja. Cleo lah yang
sudah memasukkan mereka di sekolah itu sekaligus membiayainya agar Cleo
tidak sendirian di sekolah talent tersebut dan akhirnya saling mendapat
keuntungan satu sama lain. Cleo mendapat teman berbicara, sedangkan
Sonya dan Shania mendapat pengalaman dan juga pelajaran di sekolah itu.


Cleo
duduk termenung di sofa sambil memeluk bantal sofa, disebelahnya Sonya
sedang asik bermain game diponselnya. Sementara itu, Shania tidur
tiduran dilantai yang hanya berlapis karpet saja sambil memeluk boneka
kesayangannya dengan wajah murung.
   ''Baru awal awal saja udah kayak gini.'' gerutu Shania.

Mendengar
ucapan Shania yang tiba tiba, Sonya dan Cleo saling menatap,
diangkatnya kedua bahu Sonya. Mereka bertiga saat itu sedang menunggu
kedatangan pelatihnya. Pintu ruangan terbuka, pelatih mereka datang.
Sebut saja mba Fani, usianya juga masih dibilang muda. Cleo segera
beranjak dari sofa. Menatap mba Fani dengan rasa gugup.

   ''Gimana? Apa kalian sudah siap?'' seru mba Fani.
Cleo menunduk kecewa. ''Bu, apa bisa kita tunda lagi latihannya?''
Mendengar itu, mba Fani segera melihat sekeliling, lagi lagi kurang satu orang. Mba Fani kesal.
   ''Jadi, temanmu itu gak hadir lagi?''
Cleo hanya menunduk terdiam. Sedangkan Shania tetap berbaring dilantai, sengaja tidak menghiraukan apa apa.

   ''Kamu sebagai pemimpin seharusnya menangani atau mencari solusi secepatnya. Kenapa masih terulang lagi?''
Sonya beranjak dari sofa dan menatap mba Fani. ''lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang, mba?''


 ''Saya akan memberikan dua pilihan, Jeje dikeluarkan atau kalian tetap
mempertahankannya sambil menunggu lima bulan lagi untuk saya latih.
Saya juga bukan hanya melatih kalian, saya sudah sangat sibuk melatih
anak anak yang lain. Gak seperti kalian yang selalu gak disiplin.
Pikirkan itu baik baik.'' ucap tegas Mba Fani.

Mba Fani segera meninggalkan ruangan.
Sonya kaget. ''Lima bulan? Lama banget. Apa yang akan kamu lakukan, Cleo?''
   ''Aku juga pusing. Lakukan ini salah, itu salah. Sebenarnya aku juga gak tega mengeluarkan Jeje.''
   ''Pelatih membuat keputusan yang sulit sekali.'' ucap Sonya lemas.

 ***

Diruang
kelas yang ramai Jeje memandang tempat duduk Sonya dan Shania yang
kosong. Ini sudah yang ketiga kalinya mereka tidak hadir di sekolah.
Jeje termenung memikirkan semua ucapan Cleo saat pagi itu.
Dipikirkannya terus dan akhirnya timbul rasa bimbang dalam dirinya.
Jeje menjadi kangen dengan hadirnya Shania disisinya. Apalagi sekarang
sudah saatnya istirahat. Biasanya mereka selalu bersama sama. Disitu
Jeje merasa bosan, sendirian dan tidak ada teman yang cocok untuk
dijadikan teman ngobrol. Wajahnya berubah memancarkan senyuman setelah
mengingat semua gurauan Shania serta Sonya yang mereka lakukan bersama.
Padahal baru tiga hari saja mereka tidak bertemu, tapi rasa rindu
begitu kuat. Ditatapnya kembali bangku yang kosong milik Shania dan
Sonya.


Jeje menghampiri bangku yang kosong itu kemudian
di dudukinnya. Mejanya begitu penuh debu, terlihat sebuah kata kata
yang tertulis dimeja yang berbunyi,
'Sanju, Panda dan
Jeje akan tetap bersama sama, walau salah satu dari mereka berada
sangat jauh, tetapi hati ini akan selalu memikirkannya.'

Jeje melanjutkan membaca tulisan tulisan dimeja dan menemukan kata yang membuatnya tertawa milik tulisan Sonya. 'Panda itu sangat cantik, kenapa bisa cantik? Orang kamu sendiri yang membacanya dan bilang aku cantik.hahaha, peace'
Kemudian Jeje mengambil tisu dari dalam sakunya, lalu membersihkan debu debu yang menempel dimeja Sonya dan Shania.

***



 Di apartemen yang sejuk Dhike duduk berhadapan dengan Nabilah. Mereka
berdua saja. Suasananya begitu tenang dan sangat cocok untuk berbincang
bincang. Dimeja juga terdapat makanan snack dan kue kue kering.
Semuanya Ayu persembahkan hanya untuk Dhike yang dia anggap seperti
keluarganya sendiri. Dhike masih belum sembuh dari demamnya dan
wajahnya masih pucat.


   ''Sebenarnya ada apa? Ini kan
bukan suasana lebaran. Kenapa kamu membawa makanan sampai sebanyak ini,
makasih, ya. Kamu memang adik yang manis dan penuh perhatian.'' puji
Dhike.

Muka ayu memerah, jarang jarang Dhike mengucapkan kata
kata emas untuk dirinya. Walau hanya berupa kata kata, itu sangat cukup
membuat ayu merasa gembira.
Ayu tersenyum. ''Gak apa apa. Kakak kan lagi sakit. Lagipula gak banyak juga makanan disini. jadi, aku belikan saja ini semua.''
   ''maaf ya soal kemarin...''


 ''Oh gak apa apa. Aku ngerti, kok. Justru akulah yang harus minta maaf
karena telah mengganggu kakak saat kakak ingin sendirian.'' potong Ayu.


 ''Kamu ini, aku jadi khawatir sama kamu. Kamu itu terlalu baik, penuh
perhatian dan juga sangat cantik di umurmu yang masih sangat muda ini.
Tubuh Kamu itu terlalu berharga bagi seorang pria yang bahkan pria baik
pun. Bisa bisa kamu malah diperalatnya. Kalau ada yang jahat padamu
panggil saja aku.'' gurau Dhike.


Lagi lagi muka ayu
memerah mendengarnya, entah itu gombalan atau sungguhan Ayu tetap
senang. Ayu tersenyum malu mendengar ucapan Dhike.
   ''Oya, apa teman kakak akan datang hari ini?'' tanya Ayu penasaran.
   ''hmm... Aku juga gak tau. Tapi kayaknya sih datang. Apalagi yang namanya Melo itu.'' tebak Dhike.


 ''Dia sama perhatiannya dengan mu terhadap ku, mereka adalah teman
teman yang sangat berharga bagiku, termasuk juga kamu.'' tambah Dhike.
   ''Oh, begitu...''
   ''memangnya Kenapa?'' tanya Dhike heran.


 ''Ah, gak apa apa. Cuma ingin tau saja.'' Ayu tak mau menceritakan
bahwa ia bersyukur karena akan ada teman yang sama perhatiannya dengan
Dhike seperti Melody yang baru saja dikenalnya. Ayu sangat yakin Bahwa
ada rasa ketulusan didalam diri Melo sehingga Ayu ingin lebih dekat
lagi dengan Melody.


Disebelah televisi terdapat sebuah
boneka kelinci yang sangat cantik. Dhike bingung, sejak kapan Dhike
punya boneka seperti itu dan darimana asalnya. Dhike akhirnya mengingat
bahwa boneka itu seperti boneka yang kemarin Ayu tunjukan. Dhike
menebak nebak, apakah sebenarnya boneka yang Ayu tunjukan itu adalah
tenyata untuk dirinya? Kalau itu benar, tentu Dhike akan merasa sangat
bersalah. Dhike sudah bersikap tidak peduli saat itu, padahal Ayu hanya
ingin memberi kejutan dengan memberikannya boneka itu.


Dhike
memandang Ayu sejenak. Kemudian timbul rasa yang amat kasihan.
Kehidupannya tidak beda jauh dari kehidupan Dhike yang penuh dengan
kehampaan. Apalagi Dhike sangat benar benar paham akan kehidupannya Ayu
dimasa lalu. Saat itu Ayu masih sangat kecil dan merasakan bagaimana
pahitnya kehidupan yang dialaminya. Mata Dhike tampak berkaca kaca.
Sejenak Dhike tertegun. Mengganggapnya seperti adiknya adalah hal yang
tepat bagi Dhike.

   ''Kakak, ada apa?'' Ayu melihat Dhike yang tampak berkaca kaca memandanginya.


 ''Ah, gak apa apa. Apa kamu udah makan siang?'' Dhike tidak mau
mengatakan isi hatinya. Sangking merasa bersalahnya Dhike tidak berani
membicarakan boneka kelinci pemberian Ayu itu.
   ''Belum, kita makan siang bareng bareng yuk, kak. Rasanya udah lama kita gak makan bersama.''


Lima
detik belum berlalu bel apartemen sudah berbunyi. Ayu berjalan
membukakan pintu. Diluar Melo dan Ve sudah markir lengkap dengan
bungkusan makan siang yang Melo dan Ve bawa.
Ve dan Melo berseru bersama dengan nada keras. ''Halooo!''
Ayu tersenyum senang. ''Hai, kakak. Ayo masuk!''

Mereka berdua masuk dan langsung menyapa Dhike yang sedang duduk di sofa.
   ''Halo, Ikey ku. Apa kabar?'' seru Ve.
   ''Hai, Ve, Melo!''

Ve
mengamati wajah Dhike dari dekat. ''Wah, kelihatannya kamu udah segar
bugar. Awas ya kalau besok kamu gak datang ke sekolah. Tanpamu aku
galau!'' gurau Ve.
Dhike tertawa. ''Kamu bisa aja. Iya, mudah mudahan besok aku bisa masuk ke sekolah.''
   ''Hei, jangan terlalu tertekan dengan ucapan Ve. Kalau kamu masih sakit jangan dipaksakan.'' selip Melo.
   ''Iya, iya. Iya teman temanku. Iya.'' Dhike tertawa.


 ''Kalau begitu aku mau siapkan makan siang dulu. Kita makan sama sama,
ya. Ayu, bisa kamu bantu aku menyiapkannya?'' tanya Melo.
Ayu menggangguk. ''Ya, kak.''


Lima
menit kemudian makanan sudah tertata rapih dimeja. Makanannya lezat
lezat, lengkap dengan makanan pencuci mulut. Moment seperti ini jarang
sekali terjadi. Melo memandang Ve dan Dhike yang saling bergurau,
tertawa bersama dari ruang makan. Tergambar wajah wajah gembira saat
semuanya bersama. Melo tersenyum melihat itu semua. Sebaliknya, Ayu
memandangi Melo yang berada tidak jauh dari tempat Melo berdiri. Mereka
saling pandang memandang diam diam.

   ''Makanannya udah siap! Ayo semuanya kumpul.'' teriak Melo.
Dhike kagum melihat semua makanan. ''wah, banyak sekali.''
   ''Kamu harus habiskan, ya. Jangan sampai enggak. Biar tubuhmu itu penuh energi.'' ucap Ve pada Dhike.


Dhike
menggangguk. Mereka berempat duduk bersama sama. Ini adalah moment yang
paling ditunggu tunggu Ayu. Betapa bahagianya Ayu merasakan ketulusan
mereka semua.
Melo meletakkan nasi di piring Ayu. ''Ayo makanlah yang banyak.''
   ''makasih, kak.''

Semuanya mengunyah dengan sangat lahap.


'Terima kasih semuanya. Mungkin ini adalah awal bagi ku untuk bisa kembali merasakan kebahagiaan.'
Ucap kata hati Ayu.


BERSAMBUNG...

0 komentar:

Posting Komentar